Tentang adaptasi Film Miracle in Cell No.7 versi Indonesia

Beberapa hari belakangan ini di media sosial, sedang ramai dipenuhi oleh aktivitas menonton film di bioskop. Mulai dari film yang bergenre horor, action hingga film keluarga. Dari sekian banyak film, ada satu judul film yang saya temui berakhir dengan respon cukup beragam. Judul film yang saya maksud ialah Miracle in Cell No.7, yang merupakan film adaptasi versi Indonesia berdasarkan cerita original berjudul sama yang rilis pada tahun 2013 di Korea Selatan. Film ini di garap oleh sutradara Hanung Bramantyo.

Saya pribadi juga sudah menonton terlebih dahulu versi Korea nya, dan baru mendapat informasi tentang adaptasi Indonesia ini ketika tidak sengaja mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Andmesh dengan judul Andaikan kau datang. Yap, faktanya, lagu ini juga adalah lagu lama yang di aransemen ulang menurut versi Andmesh, dan lagu inilah yang menjadi soundtrack untuk film Miracle in Cell No. 7 versi Indonesia. 

Akibat dari ketidaksengajaan itulah, yang mendorong rasa penasaran saya untuk ikut menyaksikan versi adaptasi dari film ini. Dan kebetulan juga, saya memiliki waktu luang untuk menyaksikannya, karena bertepatan dengan tanggal libur saya ^^. Tulisan ini hanya memuat review secara umum tentang film ini, tanpa bermaksud untuk memberi bocoran cerita. Semoga dapat memahaminya ya..

Review 

Secara keseluruhan, cerita yang disajikan dalam film ini sama seperti versi original Koreanya. Bercerita tentang hubungan keluarga antara seorang Ayah yang memiliki keterbelakangan mental, dengan seorang anak perempuannya. Namun, yang menjadikan film ini khas ialah adanya beberapa sentuhan yang menyesuaikan dengan kearifan lokal di Indonesia. Penyajian alur cerita sangat mirip dengan bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dapat dilihat dari properti yang digunakan, serta penggambaran kehidupan di pinggiran kota di dalam film ini menurut saya sudah cukup menyerupai bagaimana kehidupan sebenarnya. Unsur lainnya yang menjadikan film ini khas Indonesia yaitu, bagaimana penggambaran tradisi adat, makanan sehari-hari, pakaian, hingga unsur keagamaan yang menjadi pembeda yang sangat bertolak belakang dengan versi Koreanya. 

Karakter Dodo dan Kartika

Hanya saja, bagi saya yang sudah menonton terlebih dahulu versi aslinya, sepanjang penyajian cerita dan dialog-dialog yang di sajikan, saya merasa lebih menyukai versi koreanya, namun bukan berarti film ini buruk, ini lebih ke selera saya pribadi saja. 

Perasaan 'emosional' dari plot cerita Miracle in Cell No.7, saya lebih mendapatkannya ketika menonton film originalnya, dengan catatan saya menontonnya secara live streaming hanya dengan menggunakan perangkat laptop dan headset. Namun, kondisi berbeda ketika saya menonton versi Indonesia di bioskop yang menyajikan pengalaman menonton yang maksimal, tapi entah kenapa saya tidak terlalu 'dapat' kesan yang sama seperti pada versi originalnya. Entah ini karena pengaruh backsound yang kurang 'nendang', atau karena dialog antar tokoh yang terlalu 'biasa' bagi kita orang asli Indonesia. Only god knows.

Terlepas dari penyajian cerita, hal yang dapat apresiasi positif dari saya adalah akting dari setiap tokoh dalam film menurut saya cukup bagus, terutama karakter Kartika kecil yang diperankan oleh Graciella Abigail. Peran Kartika kecil sangat pas porsi dan dialognya, serta terkesan persis seperti tingkah laku seorang anak sd pada umumnya. Jika berkaca dengan versi aslinya, saya tidak ada keluhan dengan karakter Kartika ini. Selain itu, karakter lainnya yang terdapat didalam film, terutama pada saat cerita berfokus di dalam 'cell no. 7', setiap peran di mainkan dengan cukup baik oleh setiap aktor, terutama karakter 'mantan bos gangster yang sudah tobat' yang diperankan oleh Indro warkop, porsi ceritanya sangat pas, terlebih lagi dibarengi oleh kemampuan akting dari komedian senior itu. 

Miracle in Cell No.7 versi Korea Selatan

Sayangnya, karakter Dodo sebagai seorang ayah penyayang dengan keterbelakangan mental tidak terlalu terpaparkan dengan baik jika dibandingkan karakter Yong-go dalam versi koreanya. Mulai dari perawakan Vino G Bastian dengan tubuh yang ideal terasa cukup jomplang  jika dibandingkan dengan Ryu Seung-ryong saat berperan didalam film original. Karakter Dodo menurut saya seperti ada yang 'kurang', terlebih jika mengingat terhadap karakter originalnya. Tapi ini hanya sebatas kesan yang saya dapatkan, bisa jadi ada perbedaan pendapat tergantung dari seberapa jauh kita mengenal bagaimana karakter orang dengan keterbelakangan mental. Tapi jika mengambil dari sudut pandang bahwa kita belum pernah melihat karakter originalnya, saya rasa karakter Dodo dengan latar belakang yang sangat kompleks tersebut sudah cukup baik diperankan oleh Vino dari awal film hingga penghujung filmnya.

Terkait alur cerita versi adaptasi ini, saya cukup senang karena disajikan dengan sangat rapi oleh tim produser. Mulai dari pengenalan karakter, latar belakang setiap karakter hingga porsi cerita untuk setiap adegan oleh tiap-tiap peran terasa sangat ringan dan menurut saya akan mudah diterima oleh setiap kalangan yang menonton, sesuai dengan kategori semua umur untuk film ini. 

Perpesanan

Secara keseluruhan saya cukup suka dengan film adaptasi Miracle in Cell No.7 versi Indonesia ini. Kekurangan minor yang ada di dalam film, tidak menutup keunggulan cerita utama yang disuguhkan. Kita juga dapat mengambil beberapa pembelajaran moral yang tertuang dalam setiap dialog maupun adegan yang ada. Bagi teman-teman yang cukup sensitif, saya sarankan untuk menyiapkan tisu untuk mengantisipasi kejadian yang terjadi pada klimaks ceritanya, karena dari pengalaman yang saya alami, cukup banyak penonton yang dibikin meleleh oleh film ini. ^^

Posting Komentar